tulisan ini pernah di publhis di LP3.um.ac.id
Awalnya keikut sertaan
saya dalam program pengabdian ini hanyalah ingin mengetahui bagaimana rasanya
mengajar dipelosok. Kata seorang teman yang telah mengikuti pengabdian ini masyarakat
dipelosok atau lebih tepatnya didaerah 3T sangat membutuhkan guru, menghormati dan
sangat menghargai hadirnya sosok guru. Mereka sangat semangat untuk bersekolah
meskipun dengan sarana dan prasarana yang sangat terbatas dan pergi kesekolah
tanpa alas kaki. Mereka tidak patah semangat untuk menuntut ilmu walaupun
usianya sudah melampaui batas untuk bersekolah.
Cerita-cerita itu
berhasil mensugesti Saya untuk bergerak mengikuti pengabdian ini. Hingga suatu
saat saya dipanggil untuk megikuti pelatihan di Kawah candradimuka tepatnya di
LANAL MALANG. Bersama prajurit-prajurit
TNI kami berlatih untuk menempa diri agar siap ditempatkan di ujung Negeri.
Kami dilatih untuk disiplin, tidak manja, selalu nerimo walaupun dengan keadaan
yang sangat terbatas. Agar suatu saat kami siap ketika dilepas di kawah
candradimuka yang sebenarnya.
Setelah beberapa hari berlatih
di kawah candradimuka ini kamipun dilepas dalam kawah candradimuka yang
sebenarnya. Mengapa dikatakan kawah candra dimuka karena disinilah kami benar-benar
ditempa oleh lingkungan dan budaya agar menjadi pendidik yang sejati. Pendidik yang mandiri, pendidik yang
tidak pernah mengeluh, pendidik yang selalu siap belajar disituasi apapun.
Disinilah kami dididik oleh lingkungan melalui pola pikir dan kebudayaannya. Sejatinya
pendidik itu adalah dididik, dididik oleh lingkungan, dididik oleh manusia
lain, dan dididik oleh keberagaman budaya. Agar paham dan mengerti bagaimana
harus bersikap, bagaimana agar terus berkembang,
Disinilah tempat kawah
candradimuka ini di negeri tanah rencong, negeri yang elok dengan pemandangan
yang dikelilingi pantai, gunung dan indahnya jalan berkelok. Disinilah saya
ditempatkan di serambi mekkah dengan budaya Islam yang masih kuat. Namun tidak
terbayang saya ditempatkan di ujung negeri yang bernama aceh ini. Saya
membayangkan akan ditempatkan didaerah yang sangat pelosok dengan tidak adanya
listrik, jauhnya sumber air dan terjauh dari peradaban. Namun ditempat ini sarana
dan prasarananya sudah sangat terjangkau. Air gunung terus mengalir tiada
henti, jalanan mulus namun sangat sepi sampai pengendara kendaraan bermotorpun
tidak sadar kalau mereka mengemudi dengan kecepatan tinggi.
Ditanah ini beberapa
tahu yang lalu pernah terjadi konflik antara GAM dan TNI serta disusul oleh
adanya tsunami yang menewaskan beratus-ratus bahkan beribu-ribu penduduk. Namun
ketika saya pertama kali saya sampai ditanah ini nampaknya masyarakat sudah
mulai bangkit, sudah mulai nampak perkembangan ekonomi, bangunan infrastruktur
sudah bagus. Namun masih diperlukan pengelolaan yang lebih baik lagi. Saya
sebagai pendidik lebih mengamati pada pendidikan dan bagaimana pengelolaannya.
Kebetulan aku ditempatkan dikecamatan Trumon yang jaraknya dua jam dari pusat
ibukota kabupaten. Tempatku disini
merupakan tempat yang paling ujung diaceh selatan.
Meskipun saya tidak
ditempatkan ditempat yang betul-betul pelosok namun dtempat ini saya mulai
memahami bagaimana pendidikan dan kebudayaan dipelosok. Saya ditempatkan
disebuah SMA diaceh selatan. Sekilas bangunan disekolah aceh selatan sudah
bagus, jika dibandingkan dengan sekolah dipelosok lain. Ketika saya masuk
sekolah ini fasilitasnya sudah lengkap mulai dari Laboratorium, ruang kelas,
proyektor untuk mengajar. Namun dibalik ketersediaan fasilitas itu ternyata
tidak digunakan dengan sepenuhnya. Dikarenakan kemampuan guru-guru disini yang
masih belum paham betul bagaimana memanfaatkan sarana tersebut. Kurang adanya
kreatifitas guru sehingga pembelajaran hanya monoton dengan mendikte dan
ceramah. Dari segi guru masih banyak kekurangannya, yaitu guru yang tidak
sesuai dengan kualifikasi mengajarnya. Contohnya disini kekurangan guru IPS dan
Banyak guru IPA. Sedangkan pemerataan komponen guru kurang diperhatikan.
Seperti menumpuknya guru IPA dan Kekurangan
guru IPS. Guru-guru disini kebanyakan hanya membicarakan administrasi saja
sehngga kurang fokus terhadap kualitas
pembelajaran.
Begitu sempit pemikiran
masyarakat dipelosok ini mengenai pandangannya terhadap pendidikan.Masyarakat
disini masih berpandangan bahwa pendidikan merupakan sesuatu untuk mendapatkan
pekerjaan atau materi yang lebih layak. Suatu hari saya pernah bertemu dengan
seorang bapak yang berjualan dipasar yang mengatakan bahwa anaknya tidak
dibolehkan untuk melanjutkan kuliah. Beliau beralasan bahwa berpendidikan
tinggi hanya menghabiskan uang semata. Setelah luluspun jika ingin jadi PNS
harus mengeluarkan uang lagi agar diterima sebagai PNS.
Dari segi siswanyapun
kurang memahami apa tujuan sekolah mereka sekolah hanya untuk mendapatkan nilai
yang bagus tanpa memperhatikan bagaimana prosesnya. Banyak siswa yang kurang
memperhatikan tugas yang diberikan guru. Pernah suatu saat sebelum ujian
sekolah ada siswa yang bertanya soal dan kunci jawaban dengan menyogok guru.
Mereka kurang mengerti arti mimpi atau cita-cita, ketika ditanya apakah mereka
akan melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi, kebanyakan mereka memilih untuk
tidak kuliah dan melanjutkan usaha kebun sawit orang tuanya. Hal ini
dikarenakan mereka kebanyakan sudah merasakan bekerja setelah pulang sekolah
dan sudah bisa menghasilkan uang sendiri diusia sekolah. Serta rendahnya
motivasi internal dan eksternal siswa. Tugas kami untuk menanamkan arti proses
belajarpun butuh perjuangan yang besar dikarenakan sangat kerasnya watak
anak-anak diujung negeri ini.
Kebudayaan dan
pemikiran yang berbeda tidak mengurangi
semangat kami untuk mengabdi di ujung negeri ini dikarenakan kami disini juga
dididik untuk menjadi pendidik yang tangguh, mandiri, dan pantang mengeluh
Comments
Post a Comment